Korupsi Sebagai Persoalan Transisi

Merubah Indonesia yang begitu lama dalam cengkraman kolonialisme dan otoriarisme bukan hal mudah, karena efek-efek kekuasaan otoriter telah berubah dan diakomodasi dalam budaya masyarakat. itulah sebabnya setiap transisi menuju demokrasi selalu rumit dan juga memiliki kesempatan gagal.

Demokrasi mengacu pada sistem politik ideal yang berdasarkan kesetaraan, akuntabilitas, keadilan, dan aturan hukum, selain serangkaian praktik yang diarahkan pada tujuan utama sistem yang adil dimana pemerintah bertanggungjawab kepada warga negara. Terdapat sisi prosedural dari demokrasi; meliputi pemilihan yang bebas dan adil, anggota legislatif yang bebas bicara, aturan hukum dan berbagai faktor lainnya. namun juga terdapat sisi yang berorientasi hasil dalam memahami demokrasi; misalnya seberapa adil sestem berjalan, seberapa baik tatanan politik dalam merespon kebutuhan warga negara dan apakah juga mampu melindungi warga negara.

Robert Dahl, yang telah menulis tentang demokrasi selama beberapa dekade, menekankan tentang kelengkapan institusi demokrasi yang dibutuhkan agar demokrasi dalam skala besar dapat berfungsi. Institusi demokrasi dari pemerintahan demokratik modern adalah pejabat yang dipilih publik; pemilihan yang berkala, bebas dan adil; kebebasan mengemukakan pendapat; alternatif sumber informasi, asosiasi yang bersifat otonom, dan kewarganegaraan terbuka.

Keberadaan institusi-institusi politik seperti yang dimaksud oleh Dahl itulah yang menjadi bagian dari problem transisi menuju demokrasi. Transisi menuju demokrasi dapat terjadi melalui satu dari beberapa cara. Namun dari berbagai pilihan cara itu, elite politik di dalam atau diluar kekuasaan selalu menjadi aktor penting. Demokrasi dapat berkembang ketika pemimpin dengan gagasan reformis mengambil alih kekuasaan.

Schmitter dan Diamond berteori bahwa peran kelompok atau asosiasi dalam masyarakat berkontribusi dalam mengartikulasikan kebutuhan dan kepentingan berbagai sektor dalam populasi. Dalam Posisi ini, civil society disiapkan untuk memainkan peran penting dalam mendorong akuntabilitas dan domokatisasi yang lebih besar. Diamond menggarisbawahi sepuluh fungsi demokratik dari civil society:
1. Menentukan batas kekuasaan negara

2. Melengkapi peran partai politik

3. Membangun atribut demokratik

4. Menciptakan jalur untuk artikulasi, agregasi dan representasi kepentingan dan menciptakan kesempatan untuk berpartisipasi dan  memberikan pengaruh kepada semua tingkat pemerintahan.

5. mengurangi kutub prinsipil dan konflik politik.

6. Merekrut dan melakukan pelatihan bagi pemimpin politik baru.

7. Memantau pemilihan.

8. Menyebarluaskan informasi dan mengarahkan warga negara.

9. Mendukung reformasi ekonomi.

10. Memperkuat negara demokratis.

Fungsi Demokratik tersebut harus dijalankan civil society untuk mempertahankan demokrasi. Transparansi dan akuntabilitas mesti menjadi kata kunci bagi prinsip berjalannya institusi publik. Di dalamnya termasuk pencegahan terjadinya korupsi yang bersifat sistemik. Hal ini sangat krusial, karena apabila persoalan korupsi dan legitimasi institusi-institusi demokrasi baru akan rusak.

Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa korelasi antara demokrasi dan korupsi apabila digambarkan dalam kurva adalah berbentuk seperti bel. Pemerintahan otoriter dan pemerintahan demokratik sama-sama mampu menekan angka korupsi, walaupun dengan alasan berbeda. Pemerintahan otoriter dapat melakukan intimidasi maupun tekanan, sehingga korupsi tidak dilakukan secara tersebar dan terdesentraslisasi. Pemerintah otoriter mengontrol korupsi sedemikian rupa, sehingga korupsi hanya terjadi pada lapisan paling elite dari pemerintahannya. Sementara pemerintahan demokratik mampu menekan korupsi, karena sistem pemerintahan telah berlangsung dengan sangat transparan. Publik dapat mengetahui asal dari setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah, dan untuk apa pembelanjaan tersebut dilakukan. Pada tahap berikutnya, publik melalui civil society dapat melakukan kendali bahkan sejak dari tahap penganggaran pendapatan dan pembelanjaan negara.

Persoalan terbesar korupsi justru terjadi ketika sebuah negara berada dalam masa transisi demokratik. kebebasan sudah dirasakan masyarakat, institusi-institusi demokratik sudah ada, prosedur demokratik sudah berjalan; namun prinsip good Governance belum dijalankan secara penuhTransparansi dan akuntabilitas baru sebatas slogan yang belum dipraktikkan secara utuh. Hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa sifat transisi demokratisasi di Indonesia yang replacements. Kelompok pembaharu masih lemah sementara kelompok-kelompok dari rezim beralih rupa seolah menjadi sosok yang paling reformis dan mengambil kendali jalannya institusi-institusi demokratik.

Pada tahap transisi inilah, perhatian kita semua semestinya tertuju pada pembenahan sistem. Berbagai aturan perundang-undangan yang berpotensi bertabrakan harus diprioritaskan untuk direvisi. Prosedur yang menyebabkan lambatnya pengambilan keputusan dalam melaksanakan pembangunan harus dirombak. Jangan sampai terjadi seorang pimpinan lembaga yang pada dasarnya memiliki integritas tinggi, track record yang dapat diandalkan; harus dipidana karena mengambil keputusan yang tepat dan benar, namun semata prosedurnya salah. Ini yang terjadi dalam beberapa tahun  terakhir ini. Sosok seperti Prof. Burhanuddin Abdullah (mantan Gubernur Bank Indonesia), Prof. Romli Atmasasmita (Guru Besar Unpad), Prof. Rohmin Dahuri (Guru Besar IPB), Prof. nazzaruddin Syamsuddin (Guru Besar UI) harus masuk penjara; karena melanggar aturan perundang-undangan yang ditafsirkan secara salah. Belum lagi kemungkinan bahwa aturan perundang-undangannya sendiri memang salah, karena tidak diprioritaskan untuk dibenahi. Jika kita melihat secara keseluruhan problem korupsi di Indonesia, maka ia marak bukan saja karena adanya kebebasan yang akhirnya dimanfaatkan juga untuk bebas melakukan korupsi. Tetapi karena kebebasan ini mengungkap banyak persoalan laten dalam kultur dan struktur masyarakat kita.

Jika sekarang strukturnya (sistem politiknya) mengalami persoalan dahsyat dari otoritarianisme kepada demokrasi, apakah kulturnya mengalami persoalan juga secara signifikan? Inilah pertanyaan inti dari seluruh jawaban yang dapat kita gunakan untuk meluncurkan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia . Sayangnya pertanyaan ini jarang diajukan, padahal dengan demikian, kita akan memahami bahwa korupsi itu adalah persoalan sistemik yang tidak saja hidup dalam sistem yang otoriter seperti telah dijelaskan tetapi juga memiliki dimensi budaya yang luas dan berakar sebagai warisan dari perjalan bangsa ratusan tahun selama jaman kerajaan, kolonialisme dan otoritarianisme.

Jika persoalan sistemik yang diungkap oleh keterbukaan demokrasi sejati saat ini, maka pasti ia melengkapi faktor hukum-Regulatif, Struktur-Institusi dan elemen manusia yang merupakan unsur yang tidak tetap didalamnya.

Terhadap persoalan sistemik ini pencegahan ini tidak mungkin dilakukan secara ad hoc  dan parsial, Jelas korupsi sebagai persoalan sistemik harus pula diobati secara sistemik. Di dalam studi itu terdapat unsur pencegahan (preventif), unsur monitoring (detektif) serta ada unsur penindakan.

-Fahri Hamzah-
dari bukunya: Demokrasi, Transisi, dan Korupsi.

Tinggalkan komentar